Harmoni Religi dan Budaya Mandar: Lero Bersiap Sambut Maulid Nabi

SUARATA || Lero, Pinrang – Desa Lero, Kecamatan Suppa, tengah berdenyut oleh kesibukan. Di pesisir yang biasanya tenang dengan riak ombak, kini warga bergerak serentak menyiapkan sebuah hajatan besar: peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1447 H yang dirangkaikan dengan Saeyyang Pattu’duq, tradisi Mandar yang sarat makna.
Tanggal 28–29 September 2025 menjadi momentum yang ditunggu-tunggu. Arak-arakan kuda berhias, tabuhan rebana, hingga lantunan shalawat akan berpadu, menciptakan suasana meriah sekaligus khidmat.

Bagi masyarakat Lero, Saeyyang Pattu’duq bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah simbol penghormatan, kebersamaan, sekaligus cara mengekspresikan kecintaan pada Rasulullah. Setiap helai kain yang membalut kuda, setiap tabuhan rebana yang bertalu-talu berpadu dengan shalawat, menjadi denyut yang menyatukan langkah kuda, gerak penunggang, dan semangat masyarakat.
“Di Lero, budaya dan agama bukan dua hal yang terpisah. Keduanya menyatu, saling menguatkan,” ujar seorang warga yang ikut mempersiapkan acara.
Di balik gegap gempita persiapan, ada sosok yang menjadi panutan: Suhardi Hadi, S.Ag,.M.Pd, Ketua PC DDI Ujung Lero yang juga guru di MTs DDI Lero. Ia bukan hanya pendidik, tetapi juga pemuka agama yang membimbing masyarakat dalam merawat iman dan budaya.
“Peringatan Maulid Nabi di Lero selalu istimewa. Bukan hanya mempererat ukhuwah islamiyah, tetapi juga menjaga warisan budaya Mandar. Harapan saya, generasi muda mampu mencintai Al-Qur’an, meneladani Rasulullah, sekaligus bangga dengan tradisi daerahnya,” ungkap Suhardi dengan penuh keyakinan.
Menjelang hari pelaksanaan, jalanan desa berubah menjadi ruang gotong royong. Pemuda sibuk memasang dekorasi, para ibu menyiapkan hidangan, anak-anak berlarian penuh tawa, sementara tokoh masyarakat menuntaskan persiapan. Semua bergerak dalam irama yang sama—irama kebersamaan.
Bagi warga, Maulid Nabi bukan sekadar acara tahunan. Ia adalah ruang perjumpaan antara spiritualitas Islam dan kebanggaan budaya Mandar. Dari sinilah masyarakat Lero menemukan identitasnya: Muslim yang berpegang pada Al-Qur’an sekaligus pewaris tradisi leluhur.
Seperti diungkapkan Suhardi Hadi, “Generasi muda adalah pewaris dua hal sekaligus: iman dan tradisi. Keduanya harus dijaga agar tidak lekang oleh zaman.”
Dan dari Lero, sebuah pesan sederhana namun mendalam kembali lahir: mencintai Rasulullah tidak berarti meninggalkan budaya, melainkan menjadikannya lebih bermakna.