Banjir dan Pembangunan Berwawasan Lingkungan

Banjir dan Pembangunan Berwawasan Lingkungan

Oleh:
Rusdianto Sudirman, S.H, M.H, C.Me
Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare

SUARATA.Com,PAREPARE–Banjir telah menjadi bencana yang rutin melanda berbagai wilayah di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Baru-baru ini di Bekasi dan beberapa daerah di Jawa barat, kita disuguhi berita tentang rumah-rumah yang terendam, jalan-jalan yang menjadi sungai, dan aktivitas masyarakat yang terhambat akibat banjir. Namun, benarkah banjir hanya sekadar fenomena alam yang tak terelakkan? Atau, ada faktor lain yang turut berkontribusi, seperti pembangunan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan?

Pembangunan infrastruktur dan permukiman seringkali dianggap sebagai indikator kemajuan suatu daerah. Namun, tanpa perencanaan yang matang dan berwawasan lingkungan, pembangunan justru dapat menjadi bumerang. Alih fungsi lahan, seperti penggundulan hutan, konversi daerah resapan air menjadi permukiman, dan pembangunan yang mengabaikan tata ruang, telah memperparah risiko banjir. Daerah resapan air yang seharusnya berfungsi menyerap air hujan kini berubah menjadi beton dan aspal, sehingga air tidak lagi memiliki tempat untuk meresap ke dalam tanah. Bahkan di Kota Parepare daerah resapan sudah menjadi kompleks perumahan.

*Perspektif Hukum Lingkungan*

Banjir yang kerap melanda berbagai wilayah di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh faktor alam, tetapi juga oleh aktivitas manusia yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan. Salah satu upaya untuk mengatasi hal ini adalah melalui penerapan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). UU ini menjadi landasan hukum yang penting untuk memastikan bahwa pembangunan dilakukan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan. Namun, sejauh mana implementasinya dalam menangani masalah banjir?

UU Nomor 32 Tahun 2009 mengamanatkan bahwa setiap pembangunan harus mengedepankan prinsip pembangunan berkelanjutan Artinya, pembangunan tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga harus memastikan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan sosial. Dalam konteks banjir, UU ini menekankan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem, termasuk pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), hutan, dan daerah resapan air.

Salah satu poin penting dalam UU ini adalah kewajiban melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi proyek-proyek yang berpotensi menimbulkan dampak besar terhadap lingkungan. AMDAL seharusnya menjadi alat untuk mencegah kerusakan lingkungan akibat pembangunan, seperti alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Namun, dalam praktiknya, masih banyak proyek pembangunan yang mengabaikan atau memanipulasi proses AMDAL, sehingga memperparah kerusakan lingkungan dan meningkatkan risiko banjir.

Banjir juga diperparah oleh masalah sampah yang menyumbat saluran air dan sungai. UU Nomor 32 Tahun 2009 mengatur secara tegas tentang pengelolaan sampah dan limbah Pasal 20 menyebutkan bahwa setiap orang wajib mengurangi dan menangani sampah secara tepat guna. Namun, implementasi aturan ini masih lemah. Masih banyak masyarakat dan industri yang membuang sampah sembarangan, terutama ke sungai, sehingga memperparah banjir.

Bagikan: