Dominasi Oposisi di DPRD dan Mandeknya Pemerintahan Daerah

Dominasi Oposisi di DPRD dan Mandeknya Pemerintahan Daerah

Oleh: Rusdianto Sudirman
Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare

SUARATA.Com,PAREPARE–Fenomena politik di tingkat lokal dalam pasca pelantikan kepala daerah terpilih menunjukkan dinamika yang cukup menarik sekaligus mengkhawatirkan. Di beberapa daerah, kita menyaksikan bagaimana dominasi kekuatan politik oposisi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) justru berbalik menjadi penghambat bagi kelancaran jalannya pemerintahan daerah. Kepala daerah yang memperoleh mandat langsung dari rakyat, sering kali tidak mampu menjalankan program-programnya secara efektif karena terkendala oleh resistensi dari parlemen lokal yang dikuasai oleh partai politik yang berseberangan.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai efektivitas sistem pemerintahan daerah yang kita anut. Apakah desain kelembagaan dan sistem politik lokal saat ini cukup adaptif terhadap dinamika politik pasca pilkada serentak? Apakah prinsip check and balances yang menjadi dasar hubungan antara eksekutif dan legislatif di daerah dapat berjalan sehat dalam konteks dominasi oposisi? Ataukah justru menjadi batu sandungan bagi penyelenggaraan pemerintahan yang efisien dan responsif terhadap kebutuhan rakyat?

Menurut penulis, Sistem pemerintahan daerah di Indonesia pada dasarnya mengadopsi prinsip presidensialisme lokal, di mana kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dan memiliki masa jabatan tetap. Namun, berbeda dengan sistem presidensial di tingkat nasional, kepala daerah tidak memiliki keleluasaan politik yang sama. Presiden memiliki instrumen politik berupa hak prerogatif dalam mengangkat menteri dan dapat membentuk koalisi pemerintahan yang relatif solid. Sementara itu, kepala daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota tidak memiliki hak prerogatif atas komposisi DPRD, dan dengan demikian tidak dapat membentuk koalisi politik secara formal.

Dalam banyak kasus, kepala daerah terpilih berasal dari partai atau gabungan partai minoritas di DPRD. Akibatnya, hubungan antara kepala daerah dan DPRD kerap kali didominasi oleh pertentangan politik. Dominasi oposisi dalam DPRD menjelma menjadi kekuatan yang menghambat program-program strategis kepala daerah, bahkan dalam beberapa kasus berujung pada upaya pemakzulan yang bermotifkan kepentingan politik semata.

Ketegangan antara kepala daerah dan DPRD yang dikuasai oposisi dapat bermuara pada disfungsi hubungan kelembagaan. Fungsi legislasi yang seharusnya dijalankan secara kolaboratif demi kepentingan rakyat berubah menjadi arena tarik-menarik politik yang sarat dengan kepentingan kelompok. Tidak jarang, pembahasan dan pengesahan peraturan daerah terhambat atau bahkan gagal diselesaikan karena ketidaksepahaman antara eksekutif dan legislatif.

Pembahasan RPJMD, Pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjadi contoh paling nyata dari dampak disfungsi hubungan ini. Di beberapa daerah, keterlambatan pengesahan APBD mengakibatkan stagnasi pelayanan publik, mandeknya proyek-proyek pembangunan, dan terhambatnya pencairan dana untuk program-program sosial. Semua ini merugikan rakyat secara langsung, namun sering kali dimaklumi sebagai bagian dari dinamika politik daerah.

Padahal, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur secara jelas bahwa DPRD dan kepala daerah adalah mitra sejajar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam Pasal 149 ayat (1) disebutkan bahwa DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Ketiga fungsi ini seyogianya dijalankan dalam semangat kemitraan, bukan permusuhan.

Namun dalam praktiknya, relasi yang terbentuk antara DPRD dan kepala daerah sering kali jauh dari semangat kemitraan tersebut. DPRD cenderung memainkan peran sebagai oposisi keras, menolak usulan-usulan program eksekutif, bahkan mempolitisasi isu-isu lokal untuk menekan atau mendiskreditkan kepala daerah. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat otonomi daerah yang menempatkan rakyat sebagai pusat orientasi kebijakan.

Menurut penulis salah satu akar masalah dari disharmoni antara eksekutif dan legislatif di daerah adalah sistem pemilu yang terpisah antara pemilihan kepala daerah dan pemilihan anggota DPRD. Dalam sistem ini, kepala daerah dan anggota DPRD dipilih secara independen oleh rakyat, tanpa keterkaitan struktural atau koalisi politik yang mengikat. Konsekuensinya, bisa terjadi ketidaksinkronan antara preferensi politik pemilih dalam memilih kepala daerah dan dalam memilih wakil mereka di parlemen daerah.

Tidak seperti di negara-negara dengan sistem parlementer atau semi-parlementer, di mana partai atau koalisi partai yang menang dalam pemilu otomatis mendapatkan kendali atas eksekutif dan legislatif, di Indonesia tidak ada jaminan bahwa kepala daerah akan mendapatkan dukungan politik dari DPRD. Bahkan, dalam banyak kasus, kepala daerah justru harus menghadapi mayoritas DPRD yang berseberangan secara ideologis dan politis.

Dalam kondisi seperti ini, kepala daerah dituntut untuk memiliki kemampuan lobi politik yang tinggi, serta kesanggupan untuk membangun komunikasi lintas partai secara intensif. Namun hal ini membuka ruang bagi praktik politik transaksional yang justru merusak integritas penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Melihat kompleksitas persoalan ini, penulis merekomendasikan perlu ada intervensi strategis dari pemerintah pusat untuk menjamin stabilitas pemerintahan daerah. Kementerian Dalam Negeri sebagai pembina dan pengawas umum pemerintahan daerah harus memainkan peran lebih aktif dalam memfasilitasi hubungan antara kepala daerah dan DPRD. Mekanisme mediasi politik harus diperkuat, termasuk dengan membentuk forum-forum komunikasi antara eksekutif dan legislatif di tingkat daerah.

Selain itu, perlu dilakukan evaluasi terhadap desain sistem pemilu daerah. Salah satu opsi yang dapat dipertimbangkan adalah menyatukan pemilihan kepala daerah dan DPRD dalam satu paket, atau setidaknya memberikan insentif kepada partai politik untuk membentuk koalisi yang permanen antara eksekutif dan legislatif. Model ini dapat mendorong terciptanya pemerintahan daerah yang lebih stabil dan efisien.

Pendidikan politik bagi anggota DPRD juga menjadi agenda penting. Banyak anggota DPRD yang belum memahami secara utuh fungsi dan kedudukannya sebagai mitra kepala daerah, bukan sebagai pesaing politik. Pelatihan dan pembinaan mengenai etika politik, sistem pemerintahan daerah, serta mekanisme check and balances yang sehat harus menjadi program berkelanjutan.

Kita tidak boleh membiarkan demokrasi lokal tersandera oleh konflik kepentingan sempit dan permainan politik jangka pendek. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan harus menjadi pusat perhatian dalam setiap pengambilan keputusan politik. Jika hubungan antara kepala daerah dan DPRD terus dibiarkan dalam ketegangan, maka yang dikorbankan adalah pelayanan publik, pembangunan daerah, dan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintahan daerah harus berjalan dalam kerangka kemitraan yang konstruktif antara eksekutif dan legislatif. Dominasi politik oposisi di DPRD tidak boleh menjadi alasan untuk menghambat program kerja kepala daerah yang sah. Diperlukan kebesaran jiwa dari para politisi lokal untuk menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan partai. Hanya dengan cara itulah demokrasi lokal dapat bertumbuh secara sehat dan berdaya guna.

Bagikan: