Merah Putih Mengais Rezeki di Tana Ugi

Merah Putih Mengais Rezeki di Tana Ugi

SUARATA.Com,PAREPARE–Perempuan itu bangun dari duduknya, menyeka keringat yang mampir di dahinya. Dengan senyum ramah nan bahagia, ia menarik tubuh, sesosok gadis datang menghampiri lapak dagangannya.

Jika ditatap, perempuan itu begitu kuat. Jika didekap ada rindu dan lara yang begitu berat, bersembunyi di punggung yang lelah membungkuk karena tak kenal rapuh, merakit kain merah dan putih yang setiap tahunnya dicari, untuk di bentangkannya di halaman rumah ta.

Ibu Wati, perempuan yang diceritakan gadis yang mendekapnya kala itu. Perempuan dengan lengkungan senyum dan renyah tawa seolah tak punya masalah.

Di setiap Agustus, ia datang dari Bandung, Jawa Barat. Merogoh kocek dan dompet cokelatnya, dicarinya beberapa uang sisa modal merakit kain merah dan putih, di ruangan sepetak, bersama kekasihnya ia saling bertukar kata.

“Di sini, saya nge kos sama bapak (panggilan sayang untuk suaminya), saya membawa ratusan lembar bendera yang kami jahit, dengan pelbagai macam model untuk saya jual,” katanya, lalu dibalas senyum gadis itu.

Di Tana Ugi ta Parepare, bersama doa dan pengharapan kepada sang Esa, perempuan dan kekasihnya, mengumpulkan sebilah semangat, menguatkan keteguhan tekad terhadap rezeki yang dijanjikan, akan diberi bagi siapa pun yang mencari.

Belasan hari berlalu, senyum dan tawanya masih saja sama, tidak tawar atau hilang rasa. Lembaran kain merah dan putihnya saja yang sudah tidak sama, semakin berkurang dari ketebalan yang dipikul sebelumnya, artinya banyak diminati dan telah tertukar menjadi rupiah. Syukur alhamdulillah.

Di hari jumat penuh berkah, gadis itu kembali datang, ditatapnya lekat-lekat mata yang begitu tulus mengasihi. Keringat kembali mampir, bukan lagi di dahi tapi di bawah kantong matanya. Apa itu air mata ? Perempuan itu memilih diam, perlahan meraih gawai dan menghela nafasnya lalu kemudian bercerita.

Ibu Wati, merindukan anaknya. Perkara rindu tidak pernah gagal merangkak ke naluri dan hati seorang ibu yang sedang diuji jarak dengan darah dagingnya.

Rindunya begitu kental, ia rela berkorban untuk bahagia yang setelah sekian lamanya, akan dipersembahkan kepada anak-anaknya.

“Selain akan saya gunakan untuk biaya sekolah anak-anak, hasil jualan bendera dengan bapak (kekasihnya) akan digunakan untuk kebutuhan keluarga, dan membelikan sebuah hadiah untuk anak-anak,” ujar Ibu Wati, sembari membagi senyum lalu diseka air matanya.

Perempuan itu memang luar biasa hebatnya, ia ingin menjadi istri yang menemani letih kekasihnya, berjuang untuk keluarga kecilnya, ia ingin menjadi Ibu yang dengan segala bisa, mengasihi dan mencintai anak-anaknya.

Ibu Wati, menggantungkan segala pengharapan kepada sang Esa, dizikirkan agar keluarganya selalu dikaruniai bahagia, meski dalam perjalanan kisahnya, letih tidak pernah permisi membuat matanya lembap.

Setelah Agustus, perempuan itu akan kembali ke kampung halamannya, datang mengetuk pintu huniannya bersama keluarga kecilnya. Ada permata yang menantinya untuk pulang dari perantauan sebulan lamanya, di Tana Ugi ta.

Jika masih ada sisa, akan dipikul kembali kain merah dan putih hasil rakitannya bersama kekasihnya, untuk disimpan dan menjadi saksi betapa ia sangat mencintai keluarganya dan jalan rezeki yang diterimanya.

Tana Ugi, adalah tempat perantara pengaduan nasib perempuan itu. Setiap doa dan keyakinan kepada sang Esa, dilantukan dengan syahdunya.

Perempuan memang luar biasa.
Terima kasih.

 

Dari Pesisir Pantai Lumpue, Tana Ugi ta Parepare, Sulawesi Selatan, ana’ ta Hestiana maruki.
Salamaki Tapada Salama‘.

Bagikan: